BALIKPAPAN, Seputarkata.com — Ketika harga sayuran melonjak dan pasar semakin tak menentu, sekelompok warga di Balikpapan memilih tidak mengeluh. Mereka justru menggenggam cangkul, menyiapkan bibit, dan memulai langkah kecil dari rumah sendiri, langkah yang kini menjelma menjadi harapan besar “urban farming”.
Di tengah kepadatan kota dan keterbatasan lahan, Anggota DPRD Balikpapan, Suwanto, melihat gerakan ini bukan sekadar tren, melainkan masa depan kemandirian pangan.
“Kita tak bisa hanya menunggu pasokan dari luar daerah. Lahan kecil di pekarangan bisa menjadi sumber kehidupan baru,” ujarnya Kamis 16 Oktober 2025.
Ia menyebut Kampung Bungas di Gunungsari Ilir sebagai bukti nyata. Di kawasan yang dulunya padat, kini deretan pot, planter bag, dan sistem hidroponik berjejer di halaman rumah warga. Dari sela-sela tembok beton, tumbuh hijau sawi, kangkung, cabai, hingga tomat.
Bagi Suwanto, nilai urban farming bukan semata pada rupiah yang dihasilkan, tetapi juga pada perubahan cara pandang masyarakat.
“Gerakan ini mengajarkan kemandirian, gotong royong, dan cinta lingkungan. Dari kebun kecil, kita belajar tanggung jawab terhadap hidup,” tuturnya.
Ia berharap pemerintah dan dunia usaha lebih serius mendukung gerakan ini, bukan hanya lewat bantuan bibit atau alat, tetapi melalui pendampingan berkelanjutan dan data pertanian presisi agar tanaman yang ditanam sesuai kebutuhan pasar lokal.
“Bayangkan jika setiap rumah punya dua atau tiga pot produktif, maka ketahanan pangan kota ini akan jauh lebih kuat,” tambahnya.
Kini, urban farming di Balikpapan tak lagi sekadar hobi. Ia menjadi gerakan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang menumbuhkan harapan baru di tengah krisis pangan global.
Seperti kata Suwanto, “Mulailah dari halaman sendiri. Dari sebatang sayur, kita bisa menanam masa depan.” (*/ADV/DPRD Balikpapan/jan)



