SAMARINDA, Seputarkata.com – Kalimantan Timur (Kaltim) tengah memfokuskan perhatian pada pemanfaatan biometana yang berlimpah dari industri kelapa sawit sebagai bagian dari upaya transisi menuju energi terbarukan.
Pemerintah provinsi berkomitmen untuk mengoptimalkan Palm Oil Mill Effluent (POME), limbah cair yang dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit, yang menyimpan potensi besar sebagai sumber energi alternatif.
Menurut Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Kaltim, Sri Wahyuni, banyak potensi dari POME yang hilang karena belum dimanfaatkan secara optimal.
“Permintaan biometana sangat tinggi, tetapi kita masih belum memaksimalkan sumber daya ini,” ungkapnya dalam Diskusi Pengembangan Model Usaha untuk Peningkatan Pemanfaatan Biometana di Kaltim yang diadakan di Hotel Mercure Samarinda pada Selasa, 22 Oktober 2024.
Sri Wahyuni juga menyoroti bahwa beberapa perusahaan kelapa sawit di Kaltim telah mulai menggunakan biometana untuk penerangan.
Namun, dia mendorong agar produksi dapat ditingkatkan ke skala yang lebih besar. “POME memiliki potensi yang menjanjikan, bahkan bisa diekspor,” tambahnya.
Keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kaltim menjadi momentum penting untuk mengembangkan daerah ini sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di bagian tengah dan timur Indonesia.
Dalam konteks ini, pengembangan kawasan industri dianggap krusial untuk memanfaatkan potensi biometana. Sri Wahyuni menekankan rencana pembangunan tiga super hub, yaitu di Kawasan Industri Maloy, Kawasan Industri Buluminung, dan Kawasan Industri Kariangau.
Kawasan Industri Maloy, yang kaya dengan perusahaan kelapa sawit, diprediksi akan menjadi pusat industri biometana yang signifikan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menciptakan solusi energi yang lebih berkelanjutan.
Trois Dilisusendi, Direktur Bioenergi dari Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, menambahkan bahwa potensi biogas di Indonesia sangat besar, mencapai 5.200 meter kubik per tahun atau setara dengan 2,6 juta ton LPG.
Saat ini, sekitar 60 persen kebutuhan LPG nasional masih bergantung pada impor, sehingga pengembangan biometana dianggap sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan tersebut.
Trois juga mencatat bahwa Kaltim, khususnya Kutai Timur, termasuk dalam sepuluh daerah dengan potensi biogas terbesar di Indonesia.
Diskusi ini diharapkan menjadi awal kolaborasi antara berbagai pihak untuk mengeksplorasi lebih dalam potensi biogas, termasuk pasar dan model usaha yang bisa diterapkan.
“Kami berharap diskusi ini membuka jalan untuk membangun kerja sama baru dalam pengembangan usaha biogas di Kaltim,” pungkas Trois.
Dalam acara tersebut, Kepala Dinas Perkebunan Kaltim, EA Rafiddin Rizal, juga hadir, menunjukkan dukungan penuh pemerintah dalam pengembangan energi terbarukan dari sektor kelapa sawit.
Dengan potensi yang ada, Kaltim memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor dalam pemanfaatan biometana, mendukung transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan. (*/jan)



